Wednesday, April 6, 2011

Mengkaji Opsi Pengaturan BBM Bersubsidi

 
Setelah mewacanakan selama berbulan-bulan penerapan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, kini pemerintah tinggal memilih salah satu opsi yang ditawarkan tim kajian dari tiga perguruan tinggi.

Ketiga opsi dimaksud adalah menaikkan harga premium Rp500/liter, sementara angkutan umum akan diberi cashback; perpindahan konsumsi BBM dari premium ke pertamax di mana harga pertamax ditetapkan sekira Rp8.000/liter; dan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan kartu kendali terhadap semua angkutan umum dan pribadi.

Konon opsi ketiga ini cocok untuk antisipasi jangka panjang sehingga untuk jangka pendek tinggal memilih antara menaikkan harga premium atau terus melakukan pembatasan.

Melihat usulan dari Tim Pengkajian Pengaturan BBM Bersubsidi tersebut, terlihat bahwa solusi yang diusulkan sangatlah parsial, tidak memperhatikan masalah substansial yang dihadapi oleh manajemen sumber daya energi nasional.

Hasil kajian tersebut terkesan hanya melihat sisi hilir tanpa masuk ke sisi hulu yang justru menjadi penyebab utama timbulnya ancaman dampak negatif yang signifikan dari kenaikan harga minyak dunia.

Pengelolaan sisi hulu yang didasarkan atas Undang-Undang (UU) Migas No22/2001 saat ini sangatlah mengecewakan.

Menurut Fraser Institute dari Kanada, kondisi industri dan investasi perminyakan di Indonesia saat ini merupakan yang terburuk di Oceania dan terburuk ke-111 dari 133 negara di dunia (Global Petroleum Survey 2010). Itulah sebabnya, produksi minyak sangat rendah.Sasaran produksi dalam APBN setiap tahun gagal dicapai.

2011, sasaran 970 ribu barel per hari, tetapi realisasi produksi hanya sekira 905 ribu barel per hari. Seandainya produksi minyak sekira 1,5 juta barel per hari seperti pada 1999, penerimaan sektor migas 2011 akan bisa mencapai sekira Rp400 triliun sehingga jumlah subsidi yang “hanya” Rp90 triliun sama sekali tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap anggaran negara.

Kalau hanya melihat sisi hilir semata, yakni hanya melihat masalah konsumsi dan kebijakan harga BBM, sebenarnya persoalannya sangat sederhana. Dengan kenaikan harga minyak dunia yang sangat signifikan, wajar kalau harga BBM dalam negeri perlu dinaikkan.

Tinggal menghitung berapa besaran kenaikan yang hendak diterapkan sehingga dampak negatifnya terhadap peningkatan harga barang dan jasa bisa dikendalikan. Pemerintah tinggal menyiapkan argumentasi yang jujur dan transparan kepada rakyat mengapa harga premium harus dinaikkan.

Argumentasi tersebut misalnya dapat berupa fakta naiknya harga minyak dunia yang relatif sangat tinggi. Kemudian dana subsidi yang berhasil dihemat akan dipakai untuk membangun infrastruktur yang bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat untuk jangka panjang seperti membangun jalan baru, sistem kereta api bawah tanah, monorel, pengadaan bus kota baru, atau bahkan untuk membiayai pengobatan gratis warga miskin.

Besar kemungkinan rakyat akan rela menerima kenaikan harga premium meskipun misalnya sampai Rp1.000/liter atau bahkan Rp1.500/liter. Toh, dananya akan dikembalikan ke rakyat dalam bentuk infrastruktur!

Tapi kalau yang dimunculkan adalah wacana untuk membatasi pemakaian BBM bersubsidi, selain kebijakan ini salah, juga cenderung mengaburkan masalah substansial yang kita hadapi.

Sebagai bangsa dengan penduduk besar (sekira 230 juta orang), di mana produksi minyaknya sangat rendah dan terus anjlok sementara harga minyak dunia akan terus merayap naik, masalah substansial dari kebijakan energi nasional kita adalah bagaimana mendorong pemakaian non-BBM agar ketergantungan terhadap minyak bumi bisa dikurangi.

Bukan dengan menggiring rakyat untuk pindah dari premium ke pertamax seperti pada konsep yang diusung oleh ide pembatasan BBM bersubsidi. Sebab ini berarti pindah dari minyak ke minyak. Diversifikasi energi untuk sektor transportasi yang paling feasible adalah dengan mengonversi pemakaian BBM dengan bahan bakar gas (BBG), terutama diwajibkan untuk angkutan umum.

Selain lebih murah dan ramah lingkungan, cadangan gas di perut bumi Indonesia sekira lima kali lipat cadangan minyak. Minyak sejauh mungkin harus dihemat. Untuk itu mestinya pemerintah konsentrasi membangun infrastruktur gas secepatnya.

Adapun untuk kendaraan pribadi, pemakaian BBG lebih bersifat sukarela, bisa pilih BBG atau tetap pakai BBM, tetapi harganya akan dinaikkan.

Di dalam jangka pendek, sambil membangun infrastruktur BBG,opsi menaikkan harga BBM bersubsidi dalam besaran sekira Rp500 atau Rp1.000/liter cukup rasional dan tidak ribet asalkan disertai penjelasan yang jujur dan transparan, termasuk rencana pemanfaatan dana penghematan untuk pembangunan infrastruktur, bukan untuk mem-back up kenaikan gaji pejabat.(*)

DR KURTUBI
Pengajar Pascasarjana Fakultas Ekonomi UI

No comments:

Post a Comment