Wednesday, April 6, 2011

Opsi BBM Kian Rumit

 
Urusan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sepertinya bakal tambah rumit menyusul opsi yang diajukan tim pengkaji akademis dampak kebijakan pembatasan BBM.

Tim yang diketuai Anggito Abimanyu itu mengajukan tiga opsi ke pemerintah, di mana masing-masing opsi memberi konsekuensi tersendiri yang membutuhkan katup pengaman untuk penerapannya.

Sekarang bola ada di tangan pemerintah dan DPR, apakah opsi yang ditawarkan oleh tim pengkaji akademis tersebut akan dipakai atau sekadar menjadi alasan pertimbangan saja guna menunda pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi agar pemerintah tidak terlihat gamang membatalkan kebijakan yang seharusnya mulai diberlakukan awal April 2011.

Tim pengkaji tersebut menawarkan tiga opsi untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi untuk jenis premium. Pertama, menaikkan harga premium sebesar Rp500.

Kedua, mewajibkan kendaraan pribadi beroda empat mengalihkan penggunaan premium ke pertamax. Ketiga, membuat model penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali.

Bila pemerintah memilih opsi pertama, harga premium di pasar menjadi Rp5.000 per liter yang diperuntukkan pengguna kendaraan pribadi dan sepeda motor, sedangkan angkutan umum diberi dispensasi khusus berupa cash back, dengan pertimbangan bahwa angkutan umum adalah melayani publik di mana tarif sudah diatur pemerintah.

Siapa bisa menjamin pemakai sepeda motor yang jumlahnya jutaan itu tidak bereaksi sebagai warga yang patut “dikasihani” untuk mengonsumsi BBM bersubsidi.

Opsi kedua mirip rumusan pemerintah yang sudah mendapat lampu hijau dari DPR, di mana kendaraan pribadi yang menggunakan premium semuanya akan dialihkan ke pertamax. Opsi ini memang sederhana, tetapi tidak bersahabat dengan harga pertamax saat ini yang terus meluncur di atas Rp8.000 per liter.

Untuk memberlakukan opsi tersebut, ada alternatif dengan membatasi pergerakan harga pertamax sebesar Rp8.000 per liter. Ini semua mungkin, tetapi menimbulkan biaya juga karena pemerintah harus menahan harga pertamax yang dipatok berdasarkan harga minyak internasional dengan tren terus meningkat menembus angka psikologis USD100 per barel.

Lalu, opsi ketiga yakni membuat model penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali, tentu butuh waktu yang panjang untuk merumuskan mekanismenya seperti apa, sementara kebutuhan untuk membatasi pemakaian BBM bersubsidi terus mendesak.

Dari tiga opsi yang disodorkan tim pengkaji tersebut tak memberi waktu yang tegas kapan sebaiknya pembatasan BBM bersubsidi itu dilaksanakan. “Tepatnya kapan diberlakukan saya tidak tahu, tetapi yang jelas idealnya dilakukan pada bulan-bulan di mana terjadi deflasi,“ ungkap Anggito, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal tersebut.

Berdasarkan data dari BPH Migas, konsumsi premium terus melambung, pemakaian premium pada Februari 2011 telah melebihi kuota.Pemerintah sudah menjatah konsumsi premium pada bulan lalu sebesar 1,7 juta kiloliter (kl), tetapi realisasinya telah menembus sebesar 1,8 juta kl.

Dengan mencermati perkembangan konsumsi premium tersebut, wajar saja bila ada kekhawatiran subsidi BBM bakal membengkak dari Rp3 triliun hingga Rp5 triliun bila tidak segera diberlakukan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi tahun ini.

Perhitungan penambahan subsidi BBM tersebut belum memasukkan pengaruh eksternal yakni kenaikan harga minyak mentah dunia yang dibakar krisis Timur Tengah. Dampak dari kenaikan harga minyak dunia itu telah mengerek harga pertamax pada level Rp8.100 per liter di Jabotabek.

Melihat kenyataan itu, kita tidak bisa menyalahkan masyarakat kalau tetap lengket menggunakan premium. Kita tidak tahu keputusan apa yang akan diambil pemerintah. Namun, hari ini pemerintah dan DPR rapat bersama membahas opsi tim pengkaji.

No comments:

Post a Comment