Peningkatan Kualitas PDB per Kapita

Pemerintah optimistis bahwa pada akhir 2014 rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai USD5.000. Angka ini diperoleh dengan asumsi produk domestik bruto (PDB) mampu menembus USD1 triliun.
Optimisme muncul berdasarkan data masa lalu di mana untuk 2004 PDB per kapita kita hanya USD1.184 dan meningkat sebesar USD3.000 pada akhir 2010.
Sementara untuk mengejar selisih total PDB sebesar USD300 selama tiga tahun (2011-2014) juga cukup besar melalui program percepatan pembangunan infrastruktur dan capital inflow untuk mendukung investasi sektor riil di Indonesia.
Besaran pendapatan per kapita merefleksikan kemakmuran (wealth), daya beli (purchasing power parity), dan kemajuan pembangunan suatu negara. Angka ini didapatkan melalui pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Semakin besar PDB per kapita suatu negara, semakin makmur masyarakatnya.
Karena itu, PDB per kapita juga seringkali digunakan untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi antarnegara. Namun, optimisme peningkatan PDB per kapita ini perlu dicermati dengan penuh kehati- hatian. Hal ini karena data PDB dihitung dengan menjumlahkan total output/pendapatan yang diproduksi di dalam negeri.
Hanya saja, data ini perlu dilengkapi dengan melihat distribusi dan kualitas kontribusi sektoral maupun kelompok pendapatan masyarakat sehingga pencapaian PDB per kapita perlu dilengkapi dengan indikator yang lebih mencerminkan pemerataan akses, kontribusi, dan distribusi agar PDB per kapita menjadi lebih berkualitas.
Beberapa data terakhir menunjukkan ada pola pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektoral menunjukkan pertumbuhan positif untuk sektorsektor non-tradable seperti keuangan, transportasi dan telekomunikasi, hotel dan restoran, perdagangan, konstruksi, gas dan air bersih,listrik, serta jasa lain.
Sementara itu tren sebaliknya ditunjukkan oleh sektor tradable seperti pertanian, pertambangan dan galian, serta industri manufaktur nasional. Persoalan terjadi karena mayoritas tenaga kerja dan masyarakat Indonesia hidup dari sektor tradable.
Dikhawatirkan, ketimpangan kontribusi sektoral terhadap total pertumbuhan ekonomi nasional memunculkan persoalan atas ketimpangan pendapatan antara pekerja di sektor non-tradable dan tradable.
Menurut data BPS per Februari 2010, jumlah tenaga kerja Indonesia di sektor pertanian Rp42,8 juta orang (40 persen) dari keseluruhan angkatan kerja nasional yang mencapai 107,4 juta orang.
Kualitas kesejahteraan mayoritas tenaga kerja nasional yang bekerja di sektor pertanian juga perlu mendapatkan serius dari pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan pemantauan harga-harga di 32 pedesaan yang dilakukan BPS pada Desember 2010 menunjukkan nilai tukar petani (NTP) secara nasional turun 0,13 persen dibandingkan NTP November 2010.
Penurunan ini karena indeks harga hasil produksi pertanian lebih rendah dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga petani untuk keperluan produksi. PDB per kapita tentu perlu mendapatkan pengayaan dari data dan indikator lain yang lebih bersifat sektoral dan riil di masyarakat.
Pola-pola ketimpangan akan semakin melebar apabila PDB per kapita yang tinggi hanya dikontribusikan oleh sektor yang lebih padat modal dan teknologi. Dengan begitu, penyerapan lapangan kerja juga menjadi terbatas.
Asumsi APBN 2011 telah menargetkan bahwa setiap satu persen tambahan pertumbuhan ekonomi akan menyerap tenaga kerja sebanyak 400 ribu orang. Perkembangan sektoral perlu menjadi acuan untuk mengembangkan strategi penciptaan lapangan kerja yang berkualitas. Pertumbuhan PDB per kapita adalah indikator yang mencerminkan bahwa Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi utama di masa mendatang.
Namun, berbagai macam bentuk ketimpangan sepertinya akan terus membayangi peningkatan PDB per kapita Indonesia. Hal ini perlu juga mendapatkan perhatian khusus dari segenap pengambil kebijakan baik di tingkat pusat ataupun daerah.
Persoalan ketimpangan kepemilikan tanah dan lahan, kesenjangan gaji eksekutif puncak dan eselon yang ada di bawahnya, kesenjangan sektoral, serta pendidikan dan akses terhadap kualitas pelayanan publik yang lebih merata.
Selain itu juga mayoritas pola usaha dan tenaga kerja di Indonesia masih berada di sektor informal jelas akan menjadi tantangan tersendiri untuk dapat ‘mendamaikan’ (mutual existence) antara sektor formal dan informal.
Ketika persoalan ketimpangan dapat kita kurangi, niscaya peningkatan PDB per kapita akan semakin dirasakan dan dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kita bersama untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif.
PROF FIRMANZAH PHD
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment