Saturday, April 9, 2011

Bunga dan Harga Obligasi

 
Pasar obligasi diramal makin meriah tahun ini. Hal ini bisa dimaklumi. Dari sisi kepentingan korporasi, penerbitan obligasi dinilai lebih menguntungkan dibanding melakukan pinjaman ke lembaga keuangan seperti perbankan.

Selain dari sisi biaya (cost of fund) lebih murah, dari sisi prosedur lebih sederhana. Di sisi lain, tingkat akuntabilitasnya lebih baik karena perusahaan dituntut transparan dan mengungkapkan setiap  informasi material ke publik.

Berikut ilustrasi sederhana, betapa penerbitan obligasi lebih efisien dibandingkan jika perusahaan melakukan pinjaman ke bank. Misalnya, perusahan PT ABC sedang membutuhkan dana sebesar Rp 100 miliar untuk kebutuhan ekspansinya.

Jika PT ABC mengajukan pinjaman ke bank dengan tenor lima tahun maka ia dikenai bunga pinjaman sekira 12 persen, belum termasuk biaya-biaya lain seperti biaya provisi dan sebagainya. Tingkat bunga pinjaman 12 persen itu termasuk tingkat bunga pinjaman yang kompetitif.

Nah, jika ia menerbitkan obligasi dan ditawarkan ke pasar maka ia akan dikenai bunga mengambang dengan ketentuan 1,5 persen di atas rata-rata bunga deposito enam perbankan papan atas. Jika rata-rata bunga deposito enam perbankan  papan atas 7,5 persen per tahun maka PT ABC tadi harus mengeluarkan beban sebesar sembilan persen per tahun. Jika perusahaan sukses menjual obligasi pada harga tersebut maka ia berhasil menghemat biaya modal sebesar tiga persen.

Kalaupun perusahaan harus mengeluarkan biasa penjaminan emisi yang biasanya maksimal sekira empat persen, maka biaya itu bisa disusutkan (amortisasi) selama jangka waktu obligasi diterbitkan. Jika obligasi diterbitkan dalam tenor lima tahun, maka amortisasi biaya emisi bisa dilakukan untuk masa lima tahun juga yang berarti 0,8 persen per tahun.

Artinya, dengan menghitung biaya emisi sebesar empat persen yang dikeluarkan oleh emiten, maka emiten masih bisa menghemat 2,2 persen dari nilai emisi per tahun. Dari sisi investor, bunga mengambang yang ditawarkan dengan premium 1,5 persen masih lebih menguntungkan dibanding disimpan dalam bentuk deposito.

Besaran kupon bunga yang melekat di obligasi sebenarnya tidak bersifat flat, sama sepanjang umur obligasi. Bisa saja penerapan kupon bunga  itu bervariasi. Misalnya, pada tahun pertama flat ditetapkan sebesar 9,5 persen.

Lalu pada tahun kedua hingga jatuh tempo obligasi diterapkan kupon bunga mengambang (floating rate) sebesar 1,5 persen di atas rata-rata tingkat suku bunga tiga bank BUMN papan atas dan tiga bank swasta umum nasional papan atas. Policy seperti ini pun harus diperhitungkan secara hati-hati dan detil. Jangan sampai penerapan kupon bunga obligasi itu menyusutkan minat investor.

Dari sisi kepentingan investor, hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah soal perubahan tingkat suku bunga di pasar. Pasalnya, besaran tingkat suku bunga deposito di pasar selalu berpengaruh terhadap harga obligasi. Tingkat bunga deposito berbanding terbalik dengan harga obligasi.

Jika bunga deposito perbankan naik maka harga obligasi akan turun. Demikian sebaliknya. Perubahan ini cukup sensitif. Karena itu, investor yang menanamkan uangnya di obligasi harus bisa memastikan bahwa ia membeli obligasi di harga yang wajar, tidak terlalu tinggi (overvalued).

Meski begitu, bagi investor yang orientasinya jangka panjang yang membeli obligasi dengan bunga fixed rate untuk disimpan hingga jatuh tempo, perubahan bunga pasar tidak akan membawa dampak apapun. Berapapun perubahan bunga pasar yang terjadi, investor obligasi tetap akan menikmati bunga obligasi sesuai janji dalam prospektus.

No comments:

Post a Comment