Harga IPO

Topik seputar penawaran umum perdana (initial public offering) belakangan menjadi bahan diskusi yang hangat. Menjelang tutup tahun 2010 lalu, publik disuguhkan oleh polemik soal IPO PT Krakatau Steel Tbk (KRAS).
Sebagian menyoal harga IPO saham produsen baja terlalu rendah. Argumentasi ini didukung oleh fakta ketika masuk pasar sekunder di hari pertama atau listing perdana, harga sahamnya melesat menyentuh batas autorejection.
Saham yang saat IPO dilepas di harga Rp850 itu dalam waktu singkat mentok di harga Rp1.275. Hingar bingar Krakatau Steel akhirnya senyap begitu saja. Kini, masih bisa dibilang awal 2011, diskusi soal IPO kembali menyeruak ranah publik berkaitan IPO-nya PT Garuda Indonesia (GIAA). Topik yang muncul juga masih berkaitan dengan penentuan harga IPO saham Garuda.
Di satu sisi, ada yang bilang penetapan harga Rp750 meskipun itu batas bawah dari range harga yang ditawarkan antara Rp750 hingga Rp1.000 terlalu tinggi. Tapi pemerintah berketetapan hati bahwa Rp750 itu harga yang bagus.
Faktanya, saat listing perdana saham GIAA dibuka Rp700 dan turun hingga titik Rp600 pada menit-menit pertama. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian di atas. Tampak sekali bahwa penentuan harga IPO merupakan satu hal yang sangat penting dan strategis dalam pencapaian sukses tidaknya sebuah IPO.
Perlu dipahami bahwa kesuksesan IPO tidak hanya diukur laku tidaknya saat penjajakan di pasar atau penjualan di pasar perdana, tapi juga ditentukan bagaimana performance saham ketika masuk di pasar sekunder. Sebab, pasar sekunder merupakan pasar yang sesungguhnya, di mana gerakan naik turunnya harga saham murni ditentukan oleh mekanisme demand and supply.
Daya Pikat Tinggi
IPO, sebenarnya memiliki daya pikat yang tinggi bagi investor. Mengapa? Fakta membuktikan bahwa saat listing perdana untuk saham-saham IPO seringkali mengalami anomali harga, yaitu kenaikan harga yang cukup tinggi bahkan fantastis.
Fenomena seperti ini tidak monopoli satu bursa saham saja seperti di Bursa Efek Indonesia (BEI), tetapi merupakan fenomena bursa saham di dunia. Akibat fenomena ini, banyak ahli-ahli investasi keuangan yang meneliti ada apa di balik anomali IPO tersebut.
Khusus di BEI, sebuah penelitian pernah dilakukan oleh seorang akademisi, Hakiman. Mahasiswa S3 Universitas Padjajaran Bandung ini dalam penelitian yang dituangkan di disertasi untuk promosi gelar doktornya menyuguhkan data bahwa sejak 1996 hingga Juni 2004 tercatat ada 147 perusahaan yang IPO dan listing di BEI.
Dari jumlah tersebut, 72,72 persen ternyata harga IPO-nya undervalue, 11,88 persen overvalue, dan 15,3 persen stagnan. Pada penutupan perdagangan hari ke 30 menjadi 73,42 persen undervalue, 21,69 persen overvalue, dan 4,89 persen tetap.
Undervalue berarti saat listing perdana terjadi kenaikan harga dari harga penetapan saat IPO. Sedangkan overvalue berarti terjadi penurunan harga saat listing perdana. Dan stagnan menunjukkan bahwa saat masuk pasar sekunder harga saham tersebut tidak berubah dari harga IPO.
Andai saja data penelitian itu diteruskan hingga akhir 2010, maka bisa dipastikan bahwa saham yang undervalue memang sangat signifikan. Data ini semakin mengukuhkan bahwa harga IPO memang undervalue, sengaja atau tidak sangaja. Fakta sudah membuktikan hal itu. Undervalue saham IPO itu sudah menjadi fenomena dunia.
Bagaimana sebenarnya harga IPO ini dirumuskan. Di atas kertas, pada umumnya ada dua model formula untuk menentukan harga saham IPO, yakni discounted cash flow model (DCF) dan relative valuation model (Model RV).
Kita tidak akan mengulas bagaimana model ini bekerja, karena dua-duanya akan mempertimbangkan apakah perlu diskon atau premium dan seberapa besar diskon atau premium itu diberikan.
Dalam praktik, hasil hitungan dua model itu hanya sebagai basic atau pegangan bagi Penjamin Emisi (underwriter), calon emiten maupun investor. Sebab, penentuan yang sebenarnya Sangat didominasi oleh kekuatan permintaan dan penawaran, terutama permintaan yang diajukan oleh investor institusi berkualitas. Merekalah yang dominan berperan dibandingkan hasil hitungan dengan dua jenis model teoritik tadi.
No comments:
Post a Comment