Saturday, April 9, 2011

Menyikapi Volatilitas Pasar Saham

 
TIDAK seperti tahun-tahun sebelumnya,kinerja bursa saham Indonesia mengawali tahun ini dengan rapor merah. Mitos “January Effect” tampaknya sirna dari ekspektasi investor kali ini.

Pada Januari saja, indeks harga saham gabungan (IHSG) terjungkal sekitar sembilan persen.Ini dipicu oleh gelombang penarikan dana-dana asing karena investor asing merealisasikan keuntungan setelah indeks mencatat kenaikan spektakuler hingga 46 persen pada tahun lalu. Investor asing memanfaatkan sentimen inflasi tinggi sebagai momentum melakukan aksi profit taking.Namun, setelah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) untuk pertama kalinya sejak Agustus 2009 dari level terendahnya 6,5 persen menjadi 6,75 persen pada awal bulan lalu, investor asing terlihat kembali memburu saham-saham domestik.

Sontak IHSG menguat lagi sekitar 1,85 persen (atau 4,4 persen dalam kurs dolar AS) selama Februari. Memasuki akhir Februari dan awal Maret ini, dana-dana asing terlihat keluar-masuk meski mencatat lebih banyak transaksi jual saham domestik. Krisis politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang memicu gejolak harga minyak dunia yang menembus di atas USD100 per barel menjadi momentum untuk menarik danadana mereka.Tak pelak lagi,indeks pun cenderung melemah.

Dengan kata lain,pada awal tahun ini kita disuguhi adegan volatilitas pasar saham yang tinggi. Investor asing yang konon lebih dipersepsikan dengan fundamentalis dan memiliki horizon investasi jangka panjang pun pada kenyataannya juga tetap dipengaruhi alasan teknikal. Berita, persepsi, maupun ekspektasi bercampur dan menjadikan faktor untuk menentukan harga saham domestik di level bawah.Selanjutnya, ketika valuasi saham tersebut dinilai sudah murah, mereka kembali membeli saham-saham itu.

Artinya, faktor fundamental tidak berjalan simetris dengan faktor teknikal. Dalam bukunya The General Theory, Keynes menegaskan bahwa pada dasarnya dinamika pasar saham ini lebih digerakkan oleh spekulator.Aksi spekulan ini selalu memanfaatkan faktor teknikal tersebut untuk menentukan momentum berinvestasi di pasar saham. Karena itu, bisa dimengerti bahwa pasar saham selalu dan akan terus mengalami gejolak. Namun,kini pertanyaannya adalah mengapa gejolak (fluktuasi) di pasar saham domestik begitu tinggi? Naik-turunnya harga saham domestik begitu tajam dan cepat.

Padahal, secara fundamental tidak ada alasan untuk menjustifikasi gejolak di pasar saham domestik. Penerima hadiah Nobel Ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz menuturkan, gejolak tinggi atau gonjang-ganjing di pasar finansial merupakan efek langsung dari penyesuaian risiko yang dilakukan investor. Seperti halnya permainan roller coaster,semakin tinggi dan kencang naiknya, konsekuensinya kita menghadapi risiko, yakni semakin kencang dan dalam turunnya.

Dengan mengacu pendapat Stiglitz tersebut,di tengah optimisme faktor fundamental ekonomi yang kuat, volatilitas pasar menyiratkan pasar saham Indonesia sebenarnya menyimpan risiko yang tinggi meski saat ini risiko tersebut belum tampak bentuknya. Namun, potensi risiko itu nyata.Mungkin saja fenomena ini mendorong semakin santernya desakan agar pemerintah mengatur lalu lintas (keluar-masuk) yang sangat bebas dana-dana asing di pasar finansial Indonesia.

Horizon Panjang


Lantas bagaimana investor lokal di pasar saham menyikapi tren volatilitas tinggi saat ini? Hal ini penting disadari agar kita tidak terjebak dalam permainan strategi asing dan bisa menjaga tingkat return investasi yang tetap optimal di pasar saham. Bagi investor dengan orientasi investasi jangka panjang, gejolak pasar finansial bukan menjadi mimpi buruk. Pasalnya, volatilitas bursa seperti musiman saja, badai hanya bersifat sesaat.

Sebaliknya, bagi investor jangka pendek. Gejolak ketidakpastian pasar finansial telah menimbulkan bencana dengan transaksi jangka pendek bagi para pemain pasar. Kekhawatiran krisis politik di Mesir dan Libya yang memicu gejolak harga minyak dunia telah membuat kepanikan investor di pasar. Mereka berlomba- lomba menjual saham secara masif, khususnya di negara-negara pasar berkembang yang dinilai paling rawan terhadap imbas kenaikan harga minyak tersebut.

Fenomena yang sama juga pernah kita lihat tahun lalu seiring terjadinya krisis utang di Eropa. Namun, bagi investor dengan horizon investasi jangka panjang dan lebih mengacu pada valuasi fundamental, sejarah telah membuktikan bahwa gejolak pasar bukan menjadi saat tepat untuk lari dari pasar dan bersembunyi di bungker-bungker investasinya.

Kepala Investasi Manajer Investasi Sarasin and Partners Guy Monson seperti dikutip Reuters beberapa waktu lalu mengatakan, pasar saham tidak sepi dari gejolak karena pelaku pasar memang butuh itu, bahkan perlu mencapai puncaknya. Pasalnya, mencetak capital gain justru terjadi ketika volatilitas pasar tinggi. Berdasarkan hasil riset, dalam 20 tahun terakhir ketika indeks volatilitas atau VIX di atas 28,5 persen, indeks S&P di bursa Wall Street justru memberikan tingkat keuntungan yang tinggi rata-rata sekitar 36 persen per tahun.

Sebaliknya, ketika VIX berada pada level 21,5 persen atau di bawahnya, pasar saham justru memberikan tingkat capital gain lebih rendah hingga 4,3 persen per tahun. Tentu saja, melihat tingginya gejolak atau volatilitas pasar sebagai waktu yang tepat untuk membeli atau time to buy membutuhkan keyakinan bahwa valuasi fundamental saham yang tetap kuat. Demikian pula, kita juga harus optimistis bahwa gejolak itu hanya sementara dan bukan bersifat struktural.

Namun, banyak analis menilai, volatilitas saat ini tampaknya masih meningkat. Ini karena pasar kesulitan menetapkan harga atas risiko keputusan politik terkait krisis utang dan regulasi global. Sejumlah investor, khususnya manajer investasi, dengan melihat adanya badai tersebut secara aktif menggunakan volatilitas untuk melakukan lindung nilai (hedging) bagi portofolio yang memiliki underlying menguat.

Seperti diungkapkan Kees Verbaas,Direktur Hermes yang mengelola reksa dana saham di pasar negara-negara berkembang sebesar USD3 miliar atau sekitar Rp27 triliun.Saat volatilitas memuncak, horizon investasi jangka panjang harus menjadi tuntunan utama. Menurut Kees, kinerja pasar dari bulan ke bulan selama periode volatilitas tinggi bisa membuat kita seperti bintang atau seorang idiot.Namun,jika kita bisa memberikan toleransi dengan fokus investasi jangka panjang, itu akan menyelamatkan kita dari biaya (kerugian) yang lebih besar.

SAIDU SOLIHIN
Presiden Direktur Garuda Nusantara Capital

No comments:

Post a Comment