Wednesday, April 13, 2011

Nikmatnya Hidup sebagai Pengusaha

 
APAKAH seseorang cerdas finansial dapat dilihat dari keputusan keuangan yang dibuatnya atau bahkan dari pendapatnya tentang keuangan. Bukankah kalimat yang kurang logis menggambarkan pemikiran yang kurang pintar yang akan bermuara pada keputusan yang tidak cerdas?

Contoh penuturan kurang cerdas yang saya maksud adalah, ”Mengapa kita mesti membeli barang secara tunai jika kita bisa memperolehnya dengan kredit, apalagi kalau ada tawaran bunga kredit nol persen?” atau ”Buat apa kita harus melunasi seluruh tagihan kartu kredit jika kita dapat membayar angsuran minimum yang hanya 10 persen? ”atau ”Mengapa mengambil kredit dengan agunan jika kita dapat dengan mudah memperoleh kredit tanpa agunan yang sekarang marak ditawarkan?”

Dapat dipastikan mereka yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas gagal untuk menyadari bahwa dalam bisnis itu tidak ada makan siang yang gratis.

Orang-orang inilah yang akan menjadi mangsa empuk untuk produk-produk keuangan dan investasi yang sangat inovatif beberapa tahun terakhir ini seperti credit shield, protection plan, KTA, atau dual currency deposit. Ucapan yang lebih naif lagi adalah ”Jadi orang kaya zaman sekarang ini tidak enak karena dikejar- kejar pajak. Untung kita tidak kaya sehingga tidak perlu membayar pajak tinggi.”

Komentar-komentar di atas sungguh saya dengar langsung dan sepintas lalu terlihat logis bahwa orang kaya mesti membayar macam-macam pajak atas penghasilan, kekayaan, dan keuntungan investasinya.

Sementara yang tidak berpunya terbebas dari semua pajak itu karena penghasilan dan kekayaannya berada dalam batas penghasilan tidak kena pajak dan tidak ada investasi lain kecuali tabungan di bank yang jumlahnya tidak seberapa.

Orang-orang berpikiran polos ini lupa kalau pajak umumnya dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomi yang diperoleh seorang wajib pajak dan besaran yang dikenakan pun hanya sekira 10-30 persen. Artinya, masih ada 70-90 persen yang diterima mereka untuk memenuhi semua keperluan hidupnya.

Orang-orang kaya ini, karenanya, masih dapat menikmati se-bagian besar penghasilannya. Sangat sering, meskipun mereka sudah dipajaki dan setiap harinya turun-naik mobil mewah dengan pakaian perlente, makan di restoran mahal, serta kerap bepergian dan berbelanja ke luar negeri, masih saja tersisa dana cukup besar untuk diakumulasikan.

Empat Kelas

Jika yang kekurangan harus berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi tetap saja kekayaannya tidak bertambah; yang beruang tidak pernah repot dengan segala kebutuhannya. Ilustrasinya adalah kelas ekonomi yang paling bawah setiap harinya akan bertanya, ”Hari ini kita makan atau tidak?” Untuk kelompok yang sedikit lebih baik, pertanyaannya menjadi, ”Hari ini kita makan apa?” Sementara untuk kelompok yang cukup kaya, yang ada di benaknya adalah, ”Hari ini kita makan di mana?”

Terakhir, kelas ekonomi paling kaya hanya memikirkan, ”Hari ini kita akan makan dengan siapa?” Jika kelas menengah (kedua dan ketiga) cukup puas dengan peningkatan kekayaan dari tahun ke tahun, tidak demikian dengan kelas atas (keempat). Bagi mereka, yang lebih penting adalah get faster richer, dan bukan sekadar get richer.

Maksudnya adalah, jika sebelumnya mereka memerlukan waktu delapan tahun untuk melipatgandakan kekayaannya, ke depan mereka mungkin akan memasang target waktu menjadi enam tahun, kemudian tiga tahun, dan seterusnya. Karena mereka umumnya adalah pengusaha dengan satu atau lebih perusahaan, mencapai target itu tidaklah sulit.

Menurut Kiyosaki dalam bukunya, Cashflow Quadrant, mereka yang memiliki bisnis (kuadran B) dapat meningkatkan kekayaannya dengan pesat karena pengeluaran pribadinya dicatatkan sebagai pengeluaran perusahaan.

Dibayarkan Perusahaan

Mereka yang berada pada kuadran pekerja (E), bekerja sendiri (S), dan investor (I), tidak mempunyai privilege ini. Untuk ketiga kuadran ini, semua pengeluaran hidupnya sepenuhnya mengurangi penghasilan bersihnya (penghasilan setelah pajak). Pemilik bisnis (business owner) mempunyai pola berbeda.

Hampir semua belanja mereka seperti biaya transportasi, pembelian dan perawatan kendaraan, perjalanan ke luar negeri, serta asuransi kerugian dan kesehatan dapat dibebankan ke perusahaan mengingat mereka adalah direktur atau komisarisnya.

Penghasilan bersih mereka menjadi benar-benar tambahan kekayaannya karena semua pengeluaran besar di atas sudah dibayarkan perusahaan. Itulah sebabnya Kiyosaki sangat menganjurkan siapa pun untuk memiliki bisnis sendiri kalau mau cepat kaya.

Walaupun merugikan negara, tidak ada yang aneh atau terlalu mengkhawatirkan dengan praktik ini di perusahaan privat karena hampir semua perusahaan yang masih dikuasai pemilik melakukannya.

Namun, kebiasaan ini menjadi masalah serius jika terjadi di perusahaan terbuka karena banyak pihak yang dirugikan terutama investor publik. Untuk itu, kita mendukung sepenuhnya upaya pemerintah untuk mengurangi kerugian ini dengan membentuk Kantor Pelayanan Pajak khusus para pembayar pajak terbesar atau kantor khusus untuk orang-orang terkaya Indonesia.

Langkah pemerintah untuk meminimumkan pencatatan pengeluaran pribadi sebagai pengeluaran perusahaan di banyak korporasi tentu tidak mudah. Pemerintah punya mau, sementara pengusaha punya cara. Itulah enaknya jadi pengusaha.

Anda ingin tahu jumlah mereka yang masuk kelompok superkaya ini di Indonesia? Dengan kriteria harta bersih minimal USD1 juta, di luar rumah kediaman, angkanya mencapai puluhan ribu orang. Jika kriteria dinaikkan menjadi USD1 miliar, menurut Forbes Asia, jumlahnya menciut tinggal sekira 21 orang.

Para miliarder tingkat dunia ini hampir pasti mempunyai usaha yang menggurita dari manufaktur hingga properti. Jika bos pemilik perusahaan tempat Anda bekerja masuk dalam dua puluhan miliarder dalam dolar AS di atas, sampaikan salut dan apresiasi saya atas keberhasilannya membesarkan korporasinya.

Jika Anda berada dalam kelompok jutawan dolar yang jumlahnya hanya puluhan ribu di Indonesia ini, izinkan saya juga mengucapkan selamat atas kemampuan dan sukses Anda dalam karier atau usaha Anda.

Meskipun demikian, Anda tidak perlu bersedih jika belum mampu menembus kelas elit ekonomi yang angkanya masih kurang dari 30 ribu orang di Indonesia saat ini. Tetaplah bersyukur atas apa yang dapat kita peroleh dalam hidup kita saat ini.(*)

BUDI FRENSIDY
Penasihat Investasi dan
Penulis Buku Matematika Keuangan

No comments:

Post a Comment